Sabtu, 20 Desember 2008

Kota yang dilipat dalam Kotak bernama “Town Square”

(sebuah impian bentuk ruang kota atau pengingkaran realitas..)
Daya tarik realitas kota saat ini telah dikalahkan oleh ruang artifisial dan konsumerisme dalam gedung2 shopping center dengan berbagai penamaan seperti “town square” dll, yang pada dasarnya adalah simulasi pengalaman berbelanja dan jalan-jalan pada lingkungan kota yang dilipat, dikemas dan di satukan dalam satu kotak ruang atau bangunan..

Hal ini apakah sekedar karena gaya hidup atau memang kualitas ruang kota kita semakin menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman, terutama pada penyediaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang (jauh dari) memadai. Pedestrian atau ruang pejalan kaki yang tidak terawat, perubahan fungsi taman hijau, atau bahkan (menurut Ridwan Kamil) salah satu Permasalahan Spasial & Sosio-kultural Kota dalam Perspektif Ruang Publik adalah "Ketidaksiapan hidup berkota secara mendasar". Ketidaksiapan dan ketidaktahuan tentang esensi budaya berkota atau ’being urban’ oleh warganya sendiri. Mengerti budaya berkota, artinya kita siap untuk bernegosiasi terhadap 4 aspek kehidupan kota: densitas, heterogenitas, anonimitas dan intensitas sosial.

Town Square hadir sebagai ruang publik yang nyaman untuk sekedar berjalan-jalan, berbelanja, ataupun santai menikmati kopi di cafe2 yang ada...yang tentu saja akan sulit didapatkan pada ruang kota yang sebenarnya.. yang semakin mengerdilkan manusia didalamnya. Dalam penatnya suasana kota, Shopping center menjadi tempat rekreasi masyarakat urban yang nyaman.

Kota-kota kemudian berlomba mengembangkan fasilitas ini, bahkan rela menghilangkan ruang-ruang terbuka-nya. Akan tetapi, town square atau pusat perbelanjaan lainnya tetap tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik karena didalamnya masih mengabaikan bagian “publik” yang lainnya.. ia tetap menampilkan wajah privat karena orang yang ada di dalamnya cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu.
sehingga kelas masyarakat yang selama ini di anggap “marginal” akan semakin ter”marginal”kan.

2 komentar:

"Footers" mengatakan...

kemarin malam sempat adu argumen sama Ali soal kaum marginal dan yang termarginalkan... walhasil...tidak ada kata sepakat tentang definisi yang sebenarnya. Tapi pada dasarnya kita juga termasuk dalam kaum marginai.... Bingung kan Yal???

khayalbox mengatakan...

iya kali y.. :)
ketika walikota sesukanya bikin apa aja tanpa pedulikan suara2 lain.. mungkin saat itu kita jg dimarginalkan..
ketika d usir dr tempat dugem cuma karena pake sandal jepit.. mungkin dmarginalkan jg.. hehehe..
..(ups.. sy siapkan diri nunggu kmentar2 panjang dr ali hehehe)